Close Menu
Terkini.co
  • Nasional
  • DPR
  • MPR
  • DPD
  • Peristiwa
  • Polhukam

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

H Clinic Jadi Partner Terbaik Para CEO Untuk Jaga Vitalitas

September 10, 2025

H Clinic Andalkan Metode Modern Untuk Tingkatkan Vitalitas Pria

September 10, 2025

Eddy Soeparno Ajak Anak Muda Dukung Kepemimpinan Prabowo Hadapi Krisis Iklim

September 8, 2025
Facebook X (Twitter) Instagram
Facebook X (Twitter) Instagram
Terkini.co
Login
  • Nasional
  • DPR
  • MPR
  • DPD
  • Peristiwa
  • Polhukam
Terkini.co
Home»MPR»Agun Gunandjar: Putusan MK Bukan Hukum Tertinggi, Konstitusi Harus Jadi Rujukan Revisi UU Pemilu
MPR

Agun Gunandjar: Putusan MK Bukan Hukum Tertinggi, Konstitusi Harus Jadi Rujukan Revisi UU Pemilu

RedaksiBy RedaksiAugust 7, 2025No Comments3 Mins Read0 Views
Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest WhatsApp Email

Wakil Ketua Badan Sosialisasi MPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Agun Gunandjar Sudarsa, menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah harus dihormati, namun tidak perlu disikapi secara berlebihan. Ia menilai konstitusi tetap menjadi hukum tertinggi yang harus menjadi rujukan utama dalam pembentukan undang-undang pemilu.

“Putusan MK bukanlah hukum yang paling tinggi. Yang supreme itu konstitusi, bukan lembaganya. Jadi jangan menganggap MK itu super body. Tidak ada lembaga negara yang bersifat suprem dalam sistem ketatanegaraan kita,” kata Agun dalam Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia bertajuk “Menata Ulang Demokrasi: Implikasi Putusan MK dalam Revisi UU Pemilu”, yang digelar di Ruang PPIP, Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu (6/8/2025).

Diskusi tersebut merupakan kerja sama Biro Humas dan Sistem Informasi Setjen MPR RI bersama Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP), serta dihadiri puluhan jurnalis dari berbagai media nasional.

Agun menambahkan, DPR dan pemerintah memiliki kewenangan penuh untuk menyusun dan merumuskan kembali undang-undang pemilu. Ia mendorong agar revisi UU Pemilu mengacu secara ketat pada UUD 1945, termasuk memperhatikan banyaknya putusan MK terdahulu mengenai kepemiluan.

“Ini momentum bagi DPR dan pemerintah untuk menyusun UU Pemilu yang lebih utuh, dengan dasar utama konstitusi. Prinsip NKRI sebagai negara kesatuan dan pemerintahan presidensial harus menjadi acuan utama. Pemilu harus diarahkan untuk memperkuat sistem presidensial dan memperkuat kedaulatan rakyat,” ujarnya.

Agun juga menyoroti pentingnya membedakan mekanisme pemilu nasional dan daerah berdasarkan amanat pasal-pasal dalam UUD, yakni Pasal 22E dan Pasal 18. Menurutnya, pemilihan kepala daerah memang seharusnya tidak disamakan dengan pemilu legislatif karena adanya nilai-nilai lokal (local wisdom) dan dinamika sosial yang berbeda-beda di tiap daerah.

Kritik terhadap MK

Sementara itu, Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI), Abdul Hakim MS, mengkritisi kecenderungan MK yang menurutnya telah menjalankan fungsi judicial activism, bukan sekadar_ judicial restraint_. Ia menilai, MK telah memasuki wilayah pembentuk norma, yang seharusnya menjadi ranah legislatif.

“Putusan MK bersifat final dan mengikat, tapi tidak punya challenger. Ketika sembilan hakim MK memutus suatu perkara, siapa yang bisa membanding atau menyeimbanginya? Tidak ada,” ujar Abdul Hakim.

Menurutnya, keputusan MK untuk memisahkan pemilu nasional dan daerah memiliki konsekuensi besar dan tidak bisa diputus secara sepihak, apalagi tanpa diskusi yang cukup dengan pemangku kepentingan seperti KPU, Bawaslu, DPR, maupun masyarakat sipil.

“Ini keputusan yang berdampak pada ratusan juta rakyat Indonesia. Apakah MK sudah berdialog dengan KPU atau Bawaslu sebelum memutus? Belum. Tapi konsekuensinya luar biasa. Bahkan bisa menabrak empat undang-undang yang sudah ada,” ujarnya.

Abdul Hakim juga menilai keputusan MK terkait pemilu ini bisa menggeser masa jabatan DPRD dari lima tahun menjadi tujuh tahun jika tidak dikawal hati-hati, karena adanya pergeseran jadwal pemilu nasional dan daerah. Ia pun mendorong agar diskursus mengenai MK sebagai lembaga super body segera dikaji ulang.

“Sudah saatnya ada pembanding bagi MK. Kalau ada pelanggaran etik, hakim MK diadili oleh siapa? MK sendiri. Anggotanya dipilih sendiri. Ini tidak sehat bagi sistem demokrasi kita,” pungkasnya.

Indonesia mpr ri
Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
Previous ArticleLestari Moerdijat: Kehadiran Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat Harus Menjadi Kepedulian Bersama
Next Article Hilirisasi MIND ID Dianggap Berkontribusi Terhadap Peningkatan Ekonomi
Redaksi

Related Posts

Eddy Soeparno Ajak Anak Muda Dukung Kepemimpinan Prabowo Hadapi Krisis Iklim

September 8, 2025

Catatan Politik Bamsoet: Membarui Konstitusi Agar Negara Adaptif di Era AI-Post Truth

September 7, 2025

Orasi Ilmiah Eddy Soeparno: Perluas Reskilling dan Upskilling Pekerja Cegah Meluasnya PHK

September 6, 2025
Berita Terkini

H Clinic Jadi Partner Terbaik Para CEO Untuk Jaga Vitalitas

September 10, 20251 Views

H Clinic Andalkan Metode Modern Untuk Tingkatkan Vitalitas Pria

September 10, 20251 Views

Eddy Soeparno Ajak Anak Muda Dukung Kepemimpinan Prabowo Hadapi Krisis Iklim

September 8, 20250 Views

Catatan Politik Bamsoet: Membarui Konstitusi Agar Negara Adaptif di Era AI-Post Truth

September 7, 20250 Views

Orasi Ilmiah Eddy Soeparno: Perluas Reskilling dan Upskilling Pekerja Cegah Meluasnya PHK

September 6, 20250 Views
© 2025 Terkini.co
  • Redaksi
  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Siber

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.

Sign In or Register

Welcome Back!

Login to your account below.

Lost password?